Selasa, 09 Juni 2009

Sebuah Analogi "kisah hidup bertema: “Kanker hati” menerpa"



Sebuah analogi kisah hidup bertema: “Kanker hati” menerpa

“1 jam saja kutelah bisa cintai kamu, kamu, kamu di hatiku. Namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup”.

Aku kurang begitu pasti kapan aku terjebak pada kenyataan bahwa aku sedang mengalami sebuah penyakit bernama “kanker hati”. Jam dinding di ruangan keluarga ku seolah-olah tidak bergerak maju. Cuma sesaat ketika aku mengetahui sebuah kenyataan. Tak lama, aku kembali melihat jam dinding itu. Entah mengapa, jam dinding itu bergerak cepat. Jantungku berdegup kencang tak karuan karena kembali mengetahui sebuah kenyataan. Aku mencoba bediam diri dan menenangkan semua pikiran negatif yang terus menghantui. Ketika itu pula, kenyataan kembali menerpa diriku. Aku melihat jam dinding ku seolah-olah bergerak lamban. Satu detik terasa seperti satu jam. Aku terjebak pada realita yang aku buat. Kini, apapun yang akan aku lakukan, semuanya tidak akan lepas dan selalu berhubungan dengan waktu. Waktu itu bernama akhir kehidupan yang tidak pasti kapan datangnya.

Selama ini mungkin aku terlalu memaksakan keadaan. Berharap aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi ternyata keadaan itu berbalik menjadi sebuah tekanan yang akhirnya membuat aku jatuh dan tidak ada satupun yang bisa menolongnya. Materi kehidupan yang telah aku kumpulkan sejak aku tersadar bahwa hidup ini harus bisa memiliki visi dan misi dan harus melewati proses, tiba-tiba hilang begitu saja dalam sekejap. Aku tak tahu mengapa aku mengidap sebuah penyakit yang aku buat sendiri. Apakah ada yang salah dalam hidupku? Atau, memang manusia memiliki batas untuk memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan? Atau mungkin, aku harus kembali menghadapi sebuah realita baru dengan kepala tegak dan dengan hati yang lapang untuk bisa tetap bertahan dengan kehidupan? Rasanya semua pertanyaan itu semakin sulit dijawab ketika orang-orang yang aku sayangi dan sayang padaku tidak mengetahui apa yang aku rasakan.

Kini, sulit bagiku untuk membedakan antara keadilan dan ketidakadilan. Aku merasa, hidupku hanya bergantung pada sesuatu yang tak pasti. Semua yang aku lakukan seolah sia-sia dan tidak memiliki arti. Aku selalu mendengar, menelaah, kemudian menerima jika ada argumen yang masuk akal. Walaupun aku merasa aku telah melakukan sesuatu yang benar, tapi ketika ada hal-hal yang menurutku salah, aku mau memperbaiki sesuatu yang aku anggap benar itu. Aku tidak mau merubahnya, tapi aku cenderung menjadikan apa yang aku anggap benar menjadi sebuah kebenaran secara umum. Bukan untuk diubah, tapi untuk diperbaiki.

Sampai detik ini pun aku merasa aku telah melakukan sesuatu yang benar. Aku berbeda dengan orang-orang lain, berbeda juga dengan orang-orang pada umumnya. Sungguh, aku berbeda. Di dalam modul cara hidup sehat, mungkin minum susu di pagi hari, makan tiga kali seahari dengan menu 4 sehat 5 sempurna, kemudian tidur lebih dari 6 jam setiap harinya adalah sesuatu yang harus dijalankan. Tapi, aku selalu bertanya, “haruskah aku selalu mengikuti modul tata cara hidup sehat”? Bukankah setiap manusia bisa beradaptasi dengan pola hidupnya sendiri? Sebagai contoh, manusia yang digeneralisirkan sebagai “orang gila” atau “orang dengan gangguan jiwa” bahkan banyak yang menyebutnya “orang yang tidak normal”. Mereka tidak mengikuti apa yang disarankan oleh modul cara hidup sehat. Tapi, mereka bisa hidup, bisa menikmati kenyataan, bisa menikmati dunia, bisa tersenyum, dan bisa tertawa riang. Analogiku terlalu tidak biasa memang, tapi jargon “orang gila” membuat orang-orang di sekitarnya membuat si “orang gila” ini tersingkir dari kehidupan masyarakat. Padahal jika kita bisa sedikit belajar dan menelaah, sesungguhnya kita-kita ini lebih gila dari pada si “orang gila” itu. Mereka bisa lebih menerima kenyataan dibandingkan aku, kita, atau orang-orang pada umumnya.

Contoh lainnya, orang-orang yang hidup di daerah dusun atau pegunungan yang masih tradisionil. Mereka merokok, mereka bekerja berat, mereka memikirkan keluarga mereka, mereka makan seadanya yang tersedia di alam, mereka tidur telanjang dada, bahkan mereka tidak mengikuti modul kesehatan yang dibuat oleh dokter dan pakar-pakar kesehatan lainnya. Tapi mereka tetap hidup, merekat jarang sakit, mereka juga berumur panjang, mereka mau menikmati kehidupan, mereka mau berpikir dan mau menerima pikiran orang lain, mereka jarang mengidap penyakit mematikan, mereka juga jarang mengidap penyakit hati.

Kemudian contoh terakhir adalah bayi yang baru di lahirkan. Apakah bayi yang baru dilahirkan mengeluh karena mereka tidak bisa berbicara, tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan, dan tidak bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikannya? Walaupun secara nyata kita melihat mereka menangis, tapi kenyataan yang benar-benar nyata, mereka bertekad untuk berusaha dan melewati proses. Orang-orang di sekitarnya, ayahnya, ibunya, kakaknya, atau neneknya hanya menjadi pendukung sang bayi untuk menjalani proses. Walaupun sering jatuh saat belajar berdiri, walaupun terluka pada saat belajar berjalan, walaupun sulit dalam menyampaikan perasaan, tapi nyatanya sang bayi lebih bisa menghadapi kenyataan dan bisa lebih beradaptasi dibandingkan manusia dewasa pada umumnya. Kita pernah menjadi bayi itu, lalu kenapa kita banyak melupakan dan seolah tidak menerima adanya proses kehidupan?

Aku, kita, kalian? Cukup jelas. Biar kita semua menjawabnya dengan jawaban yang berbeda. Tapi satu hal, jawabanku selalu mengarah pada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sedikit banyaknya berbeda dari jawaban orang-orang pada umumnya. Karena aku percaya, setiap hidup ini adalah jawaban. Dan aku percaya, bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin. Minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Jadi apa yang salah jika kita mau melakukan apa yang harus kita lakukan? Toh qur’an adalah pedoman dan modul kehidupan yang benar-benar nyata adanya.

Perlahan tapi pasti, banyak orang yang terlalu melihat perspektif kehidupan dari sudut manusia. Mereka lupa, bahwa ada perspektif yang sederhana, tapi seolah-olah dibuat sulit. Terkadang kita menyerah pada kenyataan yang tidak kita inginkan. Terkadang kita sulit menyampaikan apa yang kita rasakan. Dan terkadang kita tidak suka pada sesuatu yang sederhana. Dan seringkali kita tidak mau belajar dari kesalahan diri kita sendiri. Dan seringkali pula kita cenderung tidak belajar dan menghargai kesuksesan yang kita buat sendiri. Kita cenderung belajar dari kesalahan orang lain. Kita selalu belajar dari kesuksesan orang lain. Kita selalu menuruti sesuatu yang sebenarnya membuat kita tidak nyaman. Dan kita selalu mengotak-kotakkan kotak yang dibuat oleh orang lain. Kita lupa bahwa ada kotak istimewa yang telah diajarkan rasulullah SAW dan qur’an. Kita sering berbicara dalam ranah agama dan ketuhanan, tapi kita selalu mempersulit keadaan.

Aku tidak bisa menyalahkan siapapun dan rasanya cukup untuk memikirkan adil atau tidak adilnya kehidupan. Aku sudah menderita karena selalu menerima permintaan maaf dari orang lain. Aku selalu percaya bahwa setiap orang yang meminta maaf akan berubah. Dan aku selalu menerima kembali jika ada orang yang ingin memutuskan untuk kembali. Aku pun sering tidak menghiraukan diriku sendiri padahal aku sering disakiti. Cukup sudah, kini aku sudah lelah. “Kanker hati” sudah menerpa hidupku. Aku tidak mau melihat kebelakang. Aku hanya ingin meneruskan sisa hidupku dengan caraku sendiri. BIarlah orang berkata apa, biarlah orang menasehati dengan cara mereka, dan biarlah aku seperti ini. Aku sudah cukup bangga bisa selalu ada untuk orang-orang yang aku sayang. Kini saatnya aku memikirkan diriku sendiri sambil berharap orang-orang yang aku sayang dan sayang padaku sadar tentang satu hal, “orang yang sangat sayang padanya sedang mengidap “kanker hati” kehidupan”. Maafmu, maaf kalian, selalu aku terima. Aku pun selalu memaafkan. TApi maaf, maaf saja tidak cukup untuk membuat penyakitku sembuh. Yang bisa menyembuhkan penyakitku adalah orang yang kusayang dan sayang padaku bisa lebih menghargai hidupnya, dirinya, dan bisa menghargai keberadaan ku….

“Kanker hati” menerpa? yah, inilah kenyataan. Ada saatnya orang terdiam. Mungkin sebentar, mungkin lama. Ketika aku terdiam sesaat dan memutuskan untuk kembali “ada”, aku selalu belajar dan beradaptasi dengan kenyataan yang harus aku pelajari. Tentang kamu, mereka, dan orang-orang. TApi ketika aku kembali terdiam dan tak tahu kapan memutuskan untuk kembali “ada”, itu artinya sudah saatnya kamu, mereka, dan orang-orang belajar dari kesalahan.

“Dan ku ingin kau mengerti saat ku ada di persimpangan jalan, rasa. Dan kuharap kau mengerti saat ku ada di persimpangan jalan, cinta” (Comes to Arra - Ayieph)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar